"Purnama yang indah, bintang yang bersinar dan cahaya kota yang berkelip, dengan anggun menghiasi suasana kota malam ini. Aku duduk terdiam menikmati angin dingin di atas sebuah gedung usang, di samping kota Totengham.
Dari atas gedung ini, aku bisa melihat dengan jelas pemandangan kota dimalam hari. Gedung-gedung tinggi dengan cahaya lampu yang berkelip, seakan berlomba untuk mencakar langit. Taman kota, danau, juga sungai-sungai kecil ikut hadir menghiasi.
Mobil mewah yang berlalu lalang, plang-plang iklan yang berkerlap kerlip, ratusan toko eksklusive dan suara-suara dunia gemerlap, bertaburan di sepanjang jalan. Mereka membaur, memperlihatkan keglamoran dunia atas.
Namun...
Di balik semua keindahan itu.
Di sini. Di atas gedung usang diantara pemukiman kumuh di samping kota Totengham. Aku melihat ratusan kisah anak manusia dengan alur cerita yang berbeda. Semua berbeda. Berbalik dengan kehidupan di seberang kota sana.
Disini aku melihat banyak kisah anak manusia malang.
Ya! Malang. Itulah kata yang tepat bagi mereka.
Seperti saat ini. Di balik sebuah tirai putih, pada sebuah jendela kecil di seberang gedung. Aku melihat bayangan seorang laki-laki dan perempuan yang bergerak saling menunjuk dan mencaci. Memukul dan menendang menjadi hal yang lumrah bagi mereka.
Dari arah jendela itu, aku juga sering mendengar suara gaduh pecahan piring yang terlempar ke arah dinding atau lantai rumah. Jeritan histeris memilukan tak kalah seringnya aku dengar dari balik tirai itu. Yang aku tahu, mereka adalah sepasang suami istri yang hampir setiap malam, selalu bertengkar mewarnai malam kelam kota ini. Cinta mereka yang dulu menggebu, kini telah terhapus oleh sebuah penghianatan dan berbalik menjadi sebuah Kebencian yang teramat sangat.
Hmm… “Penghianatan…”
Sepertinya.. kata itu sudah menjadi sahabat bagi kisah anak manusia di jaman sekarang ini. Aku yakin, di kota ini terdapat ratusan jendela bertirai putih lainnya, dengan kisah yang serupa.
"Heh! Cinta!"
Di sisi lain gedung ini, aku mendengar suara langkah kaki kucing hitam yang sedang sibuk menjelejahi tumpukan sampah. Ia mencari sepotong tulang ikan asin yang mungkin masih tersisa. Setiap malam kucing itu bergelut dengan puluhan tong-tong sampah, kotoran juga bau mereka yang tak sedap. Tapi… walaupun begitu, tong sampah itu adalah sumber makanan baginya. Tong sampah itu adalah tempat tinggal mereka. Para kucing liar. Salah satunya ya kucing hitam yang dekil itu.
Dia adalah kucing yang kurang beruntung, untuk hidup di dunia yang keras ini. Dia terlahir dengan bulu hitam yang menjijikan. Tidak seperti teman-temannya yang lain yang saat ini sedang melingkar hangat di atas sebuah karpet di depan perapian. Mereka terlahir dengan bulu-bulu indah dan lembut. Mereka selalu menjadi rebutan para manusia.
Sedangkan kucing hitam itu sendiri… Jangankan dipelihara atau diperebutkan! Untuk melihatnya saja terkadang mereka merasa jijik. Sepertinya semua ini tidak adil. Tapi ya, itulah takdir. Setiap insan yang bernafas memiliki alur hidup yang berbeda, yang mau tidak mau harus mereka perankan. Walau seberapa perih dan pahitnya itu.
Kisah kucing hitam ini, sebenarnya tidak jauh beda dengan kisah kehidupanku. Kami adalah mahluk-mahluk Tuhan yang terbuang.
Perhatianku kembali kepada kucing hitam itu. Sampai dengan saat ini, dia masih disibukan dengan beberapa buntalan kresek hitam di atas tong-tong sampah dangan penutupnya yang penyok. Dia tetap berharap ada sepotong kepala ikan asin yang masih bisa ia makan.
Aku berfikir.
"Heumm… Kasihan juga kucing jelek itu."
Aku mengambil burger yang tadi aku bawa sebelum aku duduk di atas gedung ini. Lalu aku lempar daging HAM dari burgerku, ke arah si kucing penjelajah itu. Serentak setelah mencium aroma daging ham yang aku lempar. Kucing itu langsung menerjang dan melahapnya dengan penuh nafsu.
Beruntunglah kucing itu masih ada aku yang mau membantu. Namun tidak begitu didalam kehidupanku sebagai seorang manusia. Diduniaku ini tidak ada satupun perkara yang bisa didapat dengan cuma-cuma. Segala sesuatu yang dilakukan pastilah saja ada sebuah pamrih yang terselip dalam berbagai bentuk, sekalipun itu kecil. Atau setidaknya, ya itulah yang terjadi kepada kehidupanku.
Aku meminum soft drink yang tadi aku bawa berserta beberapa makanan lain, untuk menemaniku menikmati suasana malam ini. Saat meminum minuman bertuliskan coca-cola itu, tak sengaja aku melihat Maya si kupu-kupu malam sedang bersama dengan lelaki hidung belang. Mereka sedang bercinta tanpa menutup jendela kecilnya terlebih dahulu. Dari arah jendela kecil itu aku bisa melihat dua sampai tiga lelaki yang berbeda dalam satu malam. Hhmmm… tak heran aku fikir, karena itu adalah profesi yang Maya pilih setelah ia sakit hati karena dikhianati oleh suami yang selama ini ia dewa-dewakan. Maya ingin penderitaannya itu bisa dirasakan juga oleh wanita-wanita lain.
Sebenarnya dulu Maya adalah wanita yang baik dan penurut. Bahkan sifatnya lebih condong kepada wanita shaleh yang berbakti kepada suami. Ia lakukan segalanya bagi sang suami, segala yang suaminya pinta ia sajikan, semua yang membuat suaminya bahagia ia lakukan.
Ya... Setidaknya itulah yang Maya fikir, berfikir bahwa segala yang dia beri itu membuat suaminya bahagia. Namun sepertinya pengabdian Maya ini sama sekali tidak berarti apa-apa bagi suami yang tidak tahu diuntung itu.
Semua pengabdian Maya dibalas dengan penghianatan yang keji. Ia bawa berbagai macam wanita untuk ia gauli di rumahnya sendiri. Bahkan di depan istrinya sendiri. Semua kepedihan itu ia rasakan selama bertahun-tahun. Namun akhirnya Maya menyerah. Dia potong. Dia kalap, lalu pergi dengan membawa organ tubuh penghasil sperma mantan dewanya itu. Maka sejak saat itu Maya jadi berubah.
Kini Maya benci dengan cerita rumah tangga yang harmonis. Namun Maya senang, tersenyum, bahkan tertawa terbahak-bahak, jika ia bisa melihat sebuah pernikahan yang berantakan hingga berakhir dalam sebuah perceraian. Sama seperti apa yang dia alami. Hal itu membuatnya puas! Dan merasa bahwa di dunia ini, bukan hanya dia saja yang merasakan kemalangan itu.
"Pemikiran yang egois."
Heh! Aku jijik melihat kemesraan Maya dengan para lelaki bertubuh buncit yang mengantri di luar kamarnya. Mereka sungguh tidak beradab. Binatang!
Aku palingkan pandanganku kearah jemuran Ny. Andrew. Ternyata Ny. Andrew sedang mengangkat baju jemuran miliknya. Ditengah malam.
Ny. Andrew terlihat cantik dengan baju tidur berwarna merah kembang-kembang. Roll rambut menggulung rapi dikepalanya. Sebatang rokok mengepul deras diujung bibirnya. Mulutnya berkomat kamit. Sepertinya Ny. Andrew sedang kembali mengoceh kepada suaminya, Tuan Andrew.
Heummm… pasti paman Andrew susah tidur lagi. Beliau mengidap penyakit Insomnia. Hingga ia buat malam menjadi siang untuk tetap stand by di depan Televisi, dan siang ia jadikan malam untuk waktu istirahat. Malam ini paman Andrew kembali mendapat “nyanyian” merdu dari Ny. Andrew yang lagi-lagi menyuruhnya tidur dan melarangnya makan terlalu banyak. Paman Andrew yang sedang santai dengan kaos putih oblong di depan televisi bersama kursi favorit juga acara bola yang ia tonton. Dengan santai menanggapi merdunya nyanyian Ny. Andrew, dengan diam. Mungkin telinganya sudah terbiasa dengan nyanyian sumbang itu.
Sampah yang berserakan di sekitar paman Andrew bekas makanan yang ia makan, serpihan snack di mulut dan perutnya yang buncit. Membuat orang lain yang melihat dia bisa mendadak kenyang walau tak makan. Sikap paman Andrew ini seringkali membuat Ny. Andrew naik pitam sehingga Ny. Andrew selalu meledak bernyanyi sumbang setiap malam karena kebiasaan paman Andrew yang buruk itu. Jika mendengar sumbangnya ocehan Ny. Andrew kepada Paman, semua orang pasti berfikir. Sepertinya rumah tangga mereka sangat memprihatinkan. Mereka memang terlihat seperti pasangan yang tidak harmonis. Setiap hari Ny. Andrew hanya bisa berceramah kepada suaminya.
Namun sungguh, sebenarnya dibalik semua ocehan itu, ada palung kasih yang tidak dapat terkikis oleh waktu. Ocehan itu adalah bentuk kasih sayang Ny. Andrew kepada orang yang paling dia cintai. Dan bentuk diamnya Tuan Andrew pun adalah bentuk kasihnya kepada orang yang dia sayangi.
Diusia mereka yang kian senja, mereka tetap saling menjaga cinta mereka dengan saling mengerti dan memaklumi apa yang menjadi kekurangan maupun kelebihan dari pasangannya. Karena di dunia ini, mereka tidak mempunyai siapa-siapa lagi. Mereka tidak dikaruniai oleh seorang anakpun, dan keluarga mereka tidak mau mengakui mereka sebagai kerabatnya lagi. Terlebih setelah Paman Andrew dan Ny Andrew kawin lari meninggalkan pasangan pernikahan mereka masing-masing, demi memperjuangkan cinta mereka yang menggema sejak SMA. Mereka berani untuk melakukan hal gila itu demi kasihnya. Kini mereka hanya hidup berdua di gubug tua penuh cinta dengan damai, hingga malam ini.
Andaikan saja aku bisa mendapat jatah cinta sejati seperti mereka, mungkin aku tidak akan berada di atas gedung ini.
Hiasan malam sungguh unik, dan aneh rasanya jika melihat semua itu diwaktu yang lain. Apalagi jika melihat segerombolan anak muda berandalan yang hobinya memeras teman mereka yang terlihat bodoh. Para berandalan itu berfikir, mereka adalah orang yang paling jago dan layak untuk merampas apa yang teman lainnya miliki. Para berandalan itu melempar seorang anak ke jaring kawat pembatas wilayah tempat sampah. Lalu mereka menyita dengan paksa beberapa lembar uang dan koin dari dalam saku anak kecil itu.
Aku iba kepada anak yang tertindas itu. Aku lempar kaleng soft drink bekas minumanku yang sudah kosong ke arah para berandalan, lalu memberi sedikit bumbu cekikikan ala hantu. HiHihihihiii…..
Para berandalan kelas monyet itu memang terlihat hebat dalam berkelahi, tapi ternyata dalam suasana seram seperti itu mereka tetap saja lari pontang-panting ketakutan dan meninggalkan anak malang itu sendirian.
Setelah berandalan itu pergi, anak malang tadi melihat ke arahku lalu tersenyum sebagai tanda terima kasih. Aku membalas senyum manis anak itu. Bocah kecil itu lalu masuk ke dalam sebuah gedung rumah susun yang letaknya berada tepat di sebelah gedung ini.
Hmmm…. Aku bosan, melihat alur cerita mereka yang setiap harinya tidak pernah ada perubahan. Hanya terperangkap dalam kehidupan tanpa cahaya. Tapi sekarang aku tahu, ternyata mereka lebih tegar menghadapi kerasnya kehidupan ini dibanding denganku.
Aku bosan dengan bekunya angin malam, bisingnya deruan mesin, dengusan para anjing liar, bulan yang bulat, matahari yang panas. Aku bosan dengan kepala ini, otak dan cairan yang ada didalamnya, juga nafas yang memompa tiada henti. Cape! Letih dengan bayang kengiluan dipangkal paha, benci dengan bau darah kering, lelah dengan mimpi buruk yang tiada berujung.
Dan akupun menyerah...
Lantai dasar gedung tua, saksi dari kehidupan para anak manusia ini menjadi alas empuk bagi tubuhku di malam purnama ini.
To be continue.....