_________________________________________________________________________________________________ CERITA ROH PART II |
~~~ Angin behembus ~~~
Dingiiin menusuk sum-sum tulang anjing liar yang berjalan di lantai dasar gedung ini.
"Hay malam! Aku kembali datang, duduk di atas gedung ini
bersamamu. Wahai malam, semoga engkau tidak bosan melihat
"cantiknya" wajahku."
bersamamu. Wahai malam, semoga engkau tidak bosan melihat
"cantiknya" wajahku."
Malam ini, aku mengalihkan pandanganku kearah kerlipnya kota. Lampu-lampu toko mulai padam satu demi satu, tapi hal itu tidak berlaku bagi Party Home Club.
Night Club itu semakin malam cahayanya malah semakin terang. Club malam itu adalah lambang kebobrokan budaya manusia di zaman sekarang ini. Club itu serasa surga bagi orang-orang bodoh yang tidak berfikir akan arti kehidupan yang sebenarnya.
"Hidup ini bukanlah Hanya untuk bersenang-senang!"
Bodoh! Dasar manusia!
"Hidup ini bukanlah Hanya untuk bersenang-senang!"
Bodoh! Dasar manusia!
Tak lama aku perhatikan, dari club malam itu keluar seorang wanita muda dari pintu belakang. Wanita itu berbaju merah, membawa tas berbulu. Ia begitu Glamour. Wanita itu terlihat seperti sedang mabuk berat sehingga ia tidak bisa berjalan dengan lurus. Dia terus berjalan melangkah tanpa arah. Tak lama kemudian darah merah pekat mengalir melewati paha kanannya. Dia merasakan aliran darah itu di kakinya. Langkahnya terhenti. Ia melihat, lalu mencoba mengambil sample darah itu dengan tangannya.
Dia merasa aneh melihat darah pekat itu, namun wajahnya sama sekali tidak merasa kaget. Padahal darah yang keluar terlalu banyak untuk ukuran darah bulanan. Wanita itu malah tertawa! Lalu melanjutkan langkah sempoyongannya, sedangkan darah merah pekat terus saja mengalir dan berceceran di sepanjang jalan yang ia lalui. Wanita itu tertawa terbahak-bahak, dan merasa bahagia melihat darah itu keluar dari rahimnya.
Wanita itu, tiada lain adalah teman karib Maya si kupu-kupu malam. Mungkin darah itu bukanlah darah biasa, tapi darah itu adalah darah dari sebuah janin yang merasa kepanasan karena minuman keras, lalu mati dan mengalir di atas kaki ibunya.
Sungguh malang calon anak ituDi sisi lain, dari kejauhan terdengar suara sirine mobil. Tapi suara sirine itu kini mulai mendekat, mendekat, mendekat dan mendekat lagi. Ternyata suara sirine itu berasal dari sebuah mobil ambulan yang datang dan diikuti oleh beberapa mobil polisi. Setelah aku perhatikan ternyata mereka hendak menuju gedung sebelah, gedung tempat tinggal bocah kecil yang pernah aku tolong waktu itu. Para polisi juga para petugas rumah sakit berbondong-bondong memasuki gedung dengan membawa tandu juga peralatan medis lainnya. Setelah beberapa lama akhirnya merekapun keluar dengan tandu yang diisi oleh seorang lelaki dewasa dengan pisau dapur yang menancap di dada kirinya. Lumuran darah mengalir deras disekujur tubuh lelaki itu.
Tak lama kemudian tandu itu diikuti oleh seorang wanita separuh baya dengan borgol di tangannya, ia dijaga ketat oleh beberapa orang polisi. Saat itu dengan wajah yang tertunduk juga mata yang tertutup sebagian poni rambut, tersirat manis senyum kepuasan dari wajah wanita itu. Wajah itu menyimpan seribu bahasa, namun ia uraikan hanya dengan sebuah senyuman. Senyuman itu mewakili rasa yang mungkin selama ini dia pendam dalam hatinya. Hingga rasa itu tak bisa ia bendung lagi dan berujung pada sebuah tandu mobil ambulans. Ironi!
Anak kecil itu adalah anak yang sering ditindas oleh para berandalan, yang pernah aku tolong malam itu.
Di depan pintu gedung ia terdiam. Dengan wajah tanpa ekspresi, dia menoleh ke arahku menatapku lalu pergi. Anak itu adalah putra dari pasangan suami istri yang sering bertengkar di gedung sebelah, dengan akhir yang menyedihkan.
Wanita mabuk berbaju merah di sebrang jalan melihat anak kecil itu. Dengan langkahnya yang sempoyongan dia mendekat lalu menatap anak itu dengan penuh rasa iba. Ia membelai rambutnya lalu menuntun. Membawa anak itu pergi.
Wanita mabuk berbaju merah di sebrang jalan melihat anak kecil itu. Dengan langkahnya yang sempoyongan dia mendekat lalu menatap anak itu dengan penuh rasa iba. Ia membelai rambutnya lalu menuntun. Membawa anak itu pergi.
Sungguh.. aku juga ingin sekali menolong anak kecil itu. Mengajaknya hidup bersamaku. Namun apa daya aku pun tak mempunyai jalan untuk pulang.
Karena kini. aku hanyalah makhluk tanpa jasad korban keputusasaan hidup, lalu mati bunuh diri sebulan yang lalu.
Semua ini karena preman jalanan yang merenggut kehormatanku. Hidupku menjadi hancur semenjak ayah dan ibuku meninggal saat aku berusia 15 tahun. Mereka dibunuh karena kami tidak bisa melunasi hutang-hutang kami kepada seorang rentenir.
Mereka merengut nyawa semua keluargaku tepat di depan kedua mata ini! Jika aku tidak melarikan diri, mungkin akupun akan dibunuhnya.
Pedih sekali jika aku harus mengingat masa-masa itu.
Heh! Tapi aku sudah membunuh mereka! Membunuh para rentenir itu lalu lari ke kota kecil ini. Tapi kedatanganku ke kota ini, ternyata hanyalah untuk melengkapi kisah nasib burukku. Kehormatanku sebagai seorang wanita dirampas dengan paksa oleh lima orang preman jalanan. Kebencianku semakin MEMBARA. Setelah menjadi pembunuh rentenir dan kelima anak buahnya, lalu... kenapa tidak untuk mengakhiri hidup kelima pemerkosaku?! Sehingga lengkaplah sudah kisah penderitaan ini.
Heh! Tapi aku sudah membunuh mereka! Membunuh para rentenir itu lalu lari ke kota kecil ini. Tapi kedatanganku ke kota ini, ternyata hanyalah untuk melengkapi kisah nasib burukku. Kehormatanku sebagai seorang wanita dirampas dengan paksa oleh lima orang preman jalanan. Kebencianku semakin MEMBARA. Setelah menjadi pembunuh rentenir dan kelima anak buahnya, lalu... kenapa tidak untuk mengakhiri hidup kelima pemerkosaku?! Sehingga lengkaplah sudah kisah penderitaan ini.
Kucing hitam yang kini menjadi sahabatku berjalan menghampiri, lalu ia duduk manis di sampingku. Meminum soft drink dan membantu anak kecil dengan melempar kaleng bekas itu... terjadi dihari terakhir aku hidup.
Semua keasrian malam itu aku lihat kembali di malam ini. Namun dengan sedikit sentuhan polisi dan sirine ambulan. Mungkin... aku akan tetap di sini, di atas gedung usang ini.
Menikmati malam dengan taburan kisah anak manusia.
Selamanya…
Sampai hari itu tiba…”
Lalu Ia menghilang, seperti asap yang tersapu angin… ~~~
Lalu Ia menghilang, seperti asap yang tersapu angin… ~~~